Seri Psikologi #01: Kebahagiaan Maksimum

Konotatif
2 min readSep 11, 2020

--

Tentu manusia tidak tiba-tiba menemukan psikologi, seni rupa, atau bioteknologi. Seperti filsafat Yunani yang mula-mula berasal dari mitos, ilmu pengetahuan biasanya juga muncul dari ruang seperti itu. Psikologi, juga demikian.

Ia muncul dari ruang keingintahuan manusia akan pikiran (mind) dan perilaku (behaviour). Filsuf-filsuf Yunani dengan psyche-nya, orang Mesir dengan papirus yang menjelaskan penyakit serta tubuh manusia, atau agama dengan konsep tubuh-jiwa-roh, secara tak langsung menunjukkan ketertarikan manusia akan pikiran dan perilaku. Pertanyaannya sekarang adalah: kenapa mereka (dan kita) yang tertarik?

Mengapa bukan bonobo atau jangkrik yang menemukan psikologi, tapi manusia?

Ada bagian otak yang memiliki fungsi layaknya pembaca-orang-lain, namanya adalah amygdala. Lebih tepatnya, bagian ini mendeteksi seseorang yang kita lihat. Apa yang dideteksi? Emosi. Amygdala bekerja sama dengan bagian otak yang bertanggung jawab mengenali stimulus visual yang datang, yaitu lobus oksipital. Artinya, kita memang bisa “membaca” orang lain dan begitupun sebaliknya.

Jadi kalau ada seseorang yang mengaku bisa meramal, lalu datang memandang wajah Anda seraya berkata “Nasibmu sepertinya buruk”, bisa jadi ia hanya telah memaksimalkan dua bagian otak itu untuk mengetahui bahwa emosi Anda sedang kurang bahagia — yang artinya ada suatu hal yang memicunya dan itu tentu hal yang buruk.

Tapi kalau cuma amygdala semata, maka hewan-hewan bertulang belakang bisa menjadi terapis kita. Sebab mereka juga memilikinya. Bonobo dan harimau Siberia bisa memberikan saran untuk perjalanan karir Anda, ikan hiu bisa mengarahkan Anda memilih pasangan yang tepat.

Hal penting lain yang membuat manusia bisa mencetuskan “psikologi”, adalah bahasa.

Salah satu revolusi kognitif manusia yang cukup spektakuler adalah bahasa. Ini dijelaskan Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens-nya dengan ciamik. Bahwa kenapa Homo Sapiens bisa berkuasa di muka bumi (dan bukan Homo Erectus, Homo Soloensis, atau Homo-homo lainnya), salah satunya karena bahasa itu. Bahasa memungkinkan Homo Sapiens untuk berkomunikasi dengan lebih baik, membuat komunitas, dan akhirnya mampu mengorganisir populasinya dengan lebih baik.

Lewat bahasa, apa yang dideteksi oleh kepala kita, bisa diutarakan. Ketika seseorang di depan kita berwajah murung, kita memberinya nama “sedih”. Ketika seorang teman tertawa, kita memberinya nama “bahagia”. Dengan semua perangkat itu, manusia membuka gerbang besar untuk bisa mempelajari psyche-nya mereka.

We don’t speak the language, language speaks us. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat. Bahasa menjadi sarana untuk kita membicarakan mental manusia. Bahasa memungkinkan kita mengetahui semua hal tentang jiwa manusia.

Setelah semua pengetahuan itu, mungkin timbul lagi pertanyaan lain. Buat apa, sih, repot-repot membedah kepala manusia? Ke mana psikologi kemudian membawa kita? Tentu jawabannya bisa relatif, sebab psikologi sendiri kemudian terpisah menjadi beberapa aliran. Tapi yang paling masuk akal adalah menciptakan kebahagiaan maksimum di muka bumi. Sebab kalau sesorang mengalami putus cinta kemudian datang ke psikolog, tentu alasannya supaya tidak terpuruk lagi. Kalau saya datang ke dosen memohon bimbingan skripsi, tentu alasannya supaya skripsi itu cepat selesai dan tak membebani pikiran saya lagi.

Apa yang ada di balik alasan-alasan itu adalah ide besar bahwa manusia ingin bahagia. Dan untuk kebahagiaan itu, tentu kita rela berusaha besar-besaran — yang ironisnya malah membuat kita tidak bahagia. Di situlah saya rasa psikologi muncul, memungkinkan manusia bisa berbahagia, semaksimal mungkin.

--

--

Konotatif
Konotatif

Written by Konotatif

Merangkai kata di sela-sela kesibukan. Biasanya menulis seminggu sekali. Sarjana psikologi yang masih percaya bahwa tidak ada sesuatu yang absolut.

Responses (1)