Bayangkan: kamu melancong ke sebuah pulau dan bersenang-senang. Debur ombak, deru mesin kapal. Derap sepatu polisi laut. Sebuah hiburan yang mahal untuk budak korporat kelas teri. Tapi libur tetaplah libur.
Awal Mei kemarin kami pergi ke luar pulau. Tidak jauh, hanya ke Pulau Harapan. Salah satu pulau dari wilayah Kepulauan Seribu. Alias masih di Jakarta juga. Dan bukan kebetulan, apa yang ada di kota tersebut — baca: kerjaan — ternyata juga ikut membuntuti.
Sebetulnya aku sudah ingin saja melempar laptop kantor itu dari atas KM Purbaya ke tengah lautan Jakarta. Tapi katarsis itu, rasanya tak sebanding dengan upah yang bisa digunakan untuk jajan cemilan dan beli tiket konser. Jadi, niat tersebut tidak menjadi kenyataan.
Tapi libur tetaplah libur, sehingga harus dinikmati senikmat-nikmatnya.
Angin kemudian berhembus kencang, samar-samar tercium bau aneh lautan. Aku menghampiri Pak Muim (bukan nama sebenarnya), pemandu tur kami—yang kemudian agak mengecewakan. Saat itu kami sedang naik kapal kecil untuk pulang ke Pulau Harapan setelah berlayar ke pulau-pulau lain untuk berwisata di sana.
Awalnya hanya hendak ke belakang kemudi untuk mengecek barang-barang kami, namun aku tiba-tiba ingin tahu juga seperti apa Pak Muim ini.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ternyata ringkasan Curriculum Vitae-nya seperti ini. Beliau pernah bertani kopi, lada, dan cokelat, di Lampung. Kemudian pernah menjadi petugas sampah di Jakarta yang ternyata gajinya bisa di atas UMR namun banyak kena potongan dari Ketua RT. Terakhir, karena masalah di Jakarta, sampai hari ini ia menjadi nelayan dan juga tour guide di Pulau Harapan.
Barangkali Pak Muim adalah sebuah perwujudan paripurna dari My Life My Adventure. Mengingat slogan tersebut erat dengan nuansa avontur alam, sama seperti beliau yang berkelana dari ladang, tempat sampah, hingga ke terumbu karang.
Liburan kali ini tidak setenang liburan sebelumnya. Pekerjaan masih membuntuti. Jemari masih mengetik dengan tergesa-gesa di laptop. Fleksibilitas ternyata punya dua mata pedang: memudahkan saat workdays dan menemplok di pundakmu ketika liburan.
Tapi kita tak boleh menyesali apapun. Toh setiap pilihan punya konsekuensinya. Karena bekerja gaji bisa ada, jaminan ada, meski desau laut di telingamu berbalas-balasan dengan notifikasi. Tung. Tung. Tung.
Lagipula aku tidak sendirian. Bergelut dengan pekerjaan di waktu liburan, artinya juga merepotkan rekan, atasan, serta mereka yang sebenarnya sedang liburan juga. Mereka ikut sengsara. Mungkin juga menanyakan hal yang sama denganku: salah siapa?
Aku kadang iri dengan orang-orang yang kerjaannya “keluyuran” seperti Pak Muim. Mereka tak repot diganggu dunia daring. Pekerjaan mereka berkutat di laut, laut tak mungkin dibawa ke mana-mana. Mereka nggak bawa laptop, dan nggak ditelepon secara gila-gilaan di hari libur. Pekerjaan mereka mengantar wisatawan untuk jalan-jalan. Apabila sudah selesai, ya, selesai.
Bonusnya, malah bertemu orang-orang dari berbagai daerah. Cerita rekan Pak Muim, beberapa waktu sebelumnya ada sekumpulan pelancong dari Bangka Belitung snorkeling sambil minum-minum. Entah kenikmatan apa yang didapat dari kombinasi dua aktivitas tersebut, tapi Pak Muim dan rekannya akhirnya turut kebagian arak.
Di malam harinya, Pak Muim membantu kami menyediakan ikan bakar. Di jadwal acara kami tertulis barbeque.
“Ya, kita beberku,” kata beliau.
Di sini acara sedikit berbelok ke arah yang kurang menyenangkan. Acara bakar-bakar ikan tersebut awalnya kami sangka akan ada di pantai, ternyata hanya beberapa langkah dari guest house, ditambah ada rombongan lain ikut serta. Seorang teman kemudian mengusulkan membawa dua ikan bakar itu ke rumah saja. Kami sepakat. Untungnya, dua ikan tersebut cukup nikmat.
Sampai malam, kira-kira begitulah kegiatan Pak Muim. Paling-paling biasanya ia melaut.
Aku tidak tahu apa isi pikiran beliau tentang pekerjaannya. Mungkin ia bosan sebab sudah malang melintang di Kepulauan Seribu, tapi ia juga sukar kembali ke Jakarta karena masalah yang dialaminya. Tapi jelas ia bisa pergi dari masalah tersebut, dan menemukan pekerjaan baru. Saya iri lagi, sebab orang-orang di kota penuh sesak macam Jakarta, bisa lari ke mana?
Tapi kita tak boleh, mungkin tak bisa, menyesali apapun. Toh setiap pilihan punya konsekuensinya. Konsekuensi melahirkan ketidaknyamanan, ketidaknyamanan melahirkan pengalaman. Dan pengalaman adalah guru terbaik. Yah, meskipun konsekuensinya adalah kecemasan akut tentang naiknya harga semua benda dan pengalamannya adalah mengutuki hidup seumur-umur di depan komputer jinjing, namun tak juga resign.
Liburan datang dan pergi, seperti ombak.