Seantero umat Kristen Protestan sudah cukup ruwet dengan ragam ajaran Kristen beserta denominasi — plus kelakuan dari masing-masing denominasi tersebut — dan semakin heboh lagi dengan kehadiran Brian Siawarta. Dan semakin heboh lagi dengan podcast-nya. Dan semakin heboh lagi dengan ide terbarunya: Kristen Progresif.
Sebuah ide yang menurut saya hanya klona saja. Karena Kristen Protestan memang pada dasarnya progresif. Cuma baiklah, kita bedah dulu apa yang dimaksud progresif oleh Brian. Setidaknya dari video ini saya bisa definisikan bahwa Brian bermaksud membuka pemahaman yang lebih terbuka dan kritis terhadap doktrin-doktrin Kristen tradisional.
Ia meredefinisi Kristen, sebagaimana aliran Calvinis memiliki definisi Kristen yang berbeda dengan Baptis, Pentakosta memiliki definisi berbeda dengan Presbiterian.
Kemudian, beberapa poin penting. Pertama, Brian sebetulnya menggunakan istilah kristen progresif bukan dari dirinya sendiri. Kedua, apa yang ia konsepkan sebenarnya sudah ada dari masa lalu (abad pencerahan, katanya). Ketiga, dalam gagasannya ini, sains dan etika juga embedded di dalam ajaran Kristen.
Di luar itu sebenarnya beragam lagi topik di dalam video berdurasi 40 menit tersebut. Tapi setidaknya bisa kita peroleh kurang-lebih apa yang Brian berusaha utarakan.
(Ngomong-ngomong, saya tak menuliskan pastor/pendeta karena setahu saya beliau sudah mengundurkan diri dari jabatan pendeta)
Keresahan yang Dapat Dipahami
Saya mengerti keresahan beliau. Kalau kita mau perhatikan, banyak sekali hari ini orang Protestan yang gayanya begitu berbeda dengan gaya Kristus/Gereja Perdana (sederhana, banyak bergaul dengan berbagai jenis masyarakat). Misal, mudah sekali menjumpai pendeta-pendeta dengan fashion perlente, aksesoris mahal, mobil bagus. Sudahlah begitu, masih saja ada yang menipu orang (Lia Eden, Children of God, Pendeta Hadassah, dll) dan melakukan tindak pelecehan seksual. Itu mungkin baru permukaan. Belum lagi soal bahasa roh yang diajarkan layaknya bahasa sehari-hari.
Kemudian, hari ini Protestan yang kita lihat begitu tersegmentasi. Segmentasi yang kalau dipikir sebetulnya berasal dari manusia juga, bukan? Saya ambil contoh, Pentakosta kalau kita mau bedah sebenarnya terpecah-pecah lagi. Ada yang Pentakosta Tabernakel, Bethel, Baptis, dan lain-lain. Semua berasal dari Pentakosta, hanya mereka berbeda paham dalam beberapa hal.
Lebih luas lagi, gereja Protestan sendiri ada yang Advent, ada HKBP, ada GKJ, dan lain-lainnya. Saya tak akan masuk lebih dalam karena akan terlalu panjang. Namun intinya masing-masing sudah memiliki patok-patok untuk menandai masing-masing wilayah mereka. Sehingga agaknya, sulit melihat dialog yang hangat antara semua aliran ini.
Kemudian soal sains dan agama, ini lebih maknyus lagi. Pernah dengar ide orang protestan yang menolak operasi karena lebih percaya mukjizat? Topik tersebut akan sangat membingungkan. Bagaimana anda tidak percaya sains, sedangkan orang-orang Kristen sendiri justru menjadi bagian dari berkembangnya sains? Tahu Copernicus yang dicurigai oleh gereja karena mengatakan dunia mengitari matahari dan bukan sebaliknya? Dia adalah seorang pelayan gereja Katolik. Isaac Newton, seorang penulis teologi, dan Gregor Mendel—bapak genetika modern—adalah seorang monk/frater.
Maka, kalau kita melihat lanskap besar Kristen Protestan hari ini, masuk akal bila ada yang gerah, lalu ingin menggebrak meja. Dan orang tersebut adalah Brian.
Sejarah Terulang
Sayangnya, kalaupun kita mau gembar-gembor soal progresivitas, hal itu sudah dilakukan jauh sekali sebelum adanya berbagai aliran Protestan saat ini. Pelakunya adalah pendiri Protestan, yaitu Martin Luther. Ia datang lebih dulu daripada Brian Siawarta ataupun Brian-Brian lain di masa depan.
Luther datang dengan 95 tesis yang menunjukkan betapa Kristen pada masa itu harus digugat. Dogma Kristen saat itu dihajar lewat pamflet yang menempel jelas di pintu gereja Wittenberg.
Setali tiga uang, Luther juga berargumen soal perbudakan dan ketimpangan sosial semasa hidupnya. Dari protes tersebut Kristen Protestan lahir. Sehingga kalaupun kita namakan Kristen Protestan Progresif, makna (protes)tan dan progresif di situ terlihat boros. Sebab protes didasari karena adanya kebutuhan untuk perubahan (progress), bukan?
Apakah kemudian Kristen berhenti? Tidak. Gerakannya kembali ber-revolusi. Dan terekam dengan baik di film Jesus Revolution, misal. Kristen tak hanya sibuk dengan dunia internalnya, namun juga membuka diri dan menampung kaum gypsy, kaum marjinal, anak-anak nakal, dan siapapun dengan berbagai pemahaman.
Seiring berjalannya waktu, Protestan kemudian berkembang dengan berbagai variasinya, dan Brian—saya kira—berusaha menjadi sebuah pembeda.
Epilog
Brian secara tak langsung mengingatkan kita pada spirit Protestanisme awal. Mungkinkah kita harus sedikit berterima kasih?
Standpoint seperti Brian di zaman ini, sudah pasti akan membuatnya di-bully; ajaran sudah semakin kokoh dengan dogma-nya masing-masing. Tentu tidak ada orang yang suka dogmanya diusik.
Saya kira Brian salah dalam delivery. Sebab ia meneropong Kristen layaknya seorang filsuf — cum konten kreator — bukan seorang pendeta. Sejauh yang saya amati, standpoint seorang pendeta seyogyanya berdiri pada dogma/aliran yang dipegangnya.
Sebab agama memanglah dogma, dan akses untuk ke sana adalah dengan iman. Saya rasa justru bukan tugas seorang pendeta untuk menjadi outsider dan mengakses dogma sepenuhnya dengan nalar.
Layaknya Martin Luther, ia harus “keluar" untuk kemudian menguliti Kristen pada masa itu, kendati kemudian bikin keributan.