Kalau Ia Lahir Hari Ini

Konotatif
4 min readDec 30, 2023

--

Photo by Jonathan Knepper on Unsplash

Kebetulan, tahun ini saya dapat kesempatan mengikuti lima kali ibadah Natal. Ya, lima. Dengan beberapa Gereja Protestan yang berbeda denominasi.

Ngomong-ngomong, buat seorang yang bukan pendeta/pastor/penginjil macam saya, barangkali soal denominasi sebetulnya tak penting-penting amat. Ia hanya masalah preferensi pribadi, sejauh mana seseorang merasa bahwa di tempat itulah dia dipanggil Tuhan (dan cocok dengan komunitas di sana). Sebaliknya, buat mereka yang berada di posisi pucuk sebuah gereja atau aliran tertentu, denominasi barangkali menjadi hal genting.

Tapi daripada membicarakan soal pelbagai golongan gereja, di diskursus perkhotbahan ini saya rasa ada satu hal penting nan aktual, namun missed untuk dikupas mendalam di natal. Yaitu: konflik di Gaza.

Mengapa tidak? Dua bangsa ini dibahas banyak di kitab suci. Melihat kecenderungan dari khotbah-khotbah pendeta untuk selalu mengaitkan hal-hal yang tertulis di kitab dengan kehidupan sehari-hari, rasanya tak ada alasan untuk tidak mengupasnya.

Mari kita bertanya. Apakah umat Kristiani — sebagian, untuk tidak menggeneralisir ke semuanya—apolitis? Tentu tidak. Kita justru oportunistik. Dan ada buktinya bahwa kita bukan tak berurusan dengan politik sama sekali.

Pertama, anda mungkin tahu, bahwa baru-baru ini ada pendeta yang dalam cuplikan khotbahnya bicara soal pemilu, tapi di akhir memberikan gimik condong ke dua paslon lain. Gimiknya kurang lebih seperti ini:

“Pilih paslon 2 boleh, paslon 3 boleh.”

Jemaat tertawa.

“Lho, saya belum selesai… Pilih paslon 2 boleh, pilih paslon 3, boleh…” kemudian ia menjauhkan mikrofon dan membuat gerakan tertentu (saya kurang paham maksudnya apa).

Jemaat tambah ngakak.

Lepas dari sosok pendeta tersebut yang kontroversial, setidaknya ia—sebagai pemuka agama—berpolitik, bukan?

Atau misalnya, pendeta berikut yang terang-terangan mendukung salah satu paslon. Bahkan bertemu langsung. Bukti lain, di tempat saya tinggal, dahulu ada partai yang secara atribut mencirikan bahwa mereka partainya umat Kristiani, Partai Damai Sejahtera namanya.

Mau lebih jauh lagi? Martin Luther sendiri, tentunya, hadir dengan tuntutan-tuntutan yang ditempel di pintu gereja. Gara-gara itu lahir protestan.

Karena sepanjang tahun ini menyimak khotbah-khotbah yang tak hanya dari gereja asal saja, saya jadi menyadari bahwa rasanya belum ada pendeta yang secara vokal berani menggugat apa yang dilakukan Israel di Gaza. Ya, kita semua tahu, mau ditinjau dari mana-mana, Israel tentu sudah melakukan tindakan keji di sana.

Saya mengerti bahwa isu tersebut adalah pelik. Salah omong sedikit, banyak orang bisa terpicu. Kita sudah belajar bahwa politik dan agama rentan bersilangan. Karena itu, kalau kita menempati kacamata seorang pendeta, bisa jadi kita akan lebih memilih diam, daripada salah bicara.

Namun melihat animo global dan semakin mengenaskannya kondisi di timur tengah, saya justru merasa rasanya gereja sebagai institusi keagamaan, bisa membunyikan posisi politis mereka pada isu ini. Dan tak ada masalah, seharusnya, karena memang masalahnya tidak berkaitan dengan agama ini melawan agama itu.

Masalahnya adalah soal keputusan politik dan kemanusiaan yang ditabrak. Orang-orang protestan mestinya punya pendapat yang lebih progresif, mengingat Martin Luther juga melahirkan protestan dengan cara demikian.

Saya rasa ada sebabnya. Mungkin diam-diam kita bungkam, karena selama ini kita banyak belajar dari alkitab yang membahas bagaimana Israel adalah God’s favor. Sedari zaman Adam hingga Isa Almasih, tokoh utama selain Allah, kebanyakan tentu adalah orang Israel sendiri. Ide itu terasa benar, sebab sampai hari ini mereka tidak juga KO, meski sudah didesak oleh banyak negara.

Sehingga, mungkin nggak nyaman untuk mengakui bahwa orang-orang pilihan Allah ini kok bisa membantai sebegitunya.

Jujur, saya sempat ada di fase tersebut. Kagum. Bahwa Israel seakan-akan dari dulu tak pernah tunduk. Fakta bahwa mereka bisa terus tancap gas meski sudah dikecam. Tapi lama-lama, entah kenapa apa yang dilakukan Israel sudah tidak make sense. Terlalu banyak korban sudah berjatuhan. Dan kalau narasi Israel seakan-akan membingkai bagaimana Hamas begitu kejam, maka saya akan berpendapat bahwa mereka sama kejamnya. Bahkan lebih kejam.

Lagian, memangnya kenapa kalau mereka bangsa pilihan Allah? Apakah lantas mereka bisa berbuat semena-mena? Kan, tidak.

Kejelasan posisi tersebut tak muncul dari pemberitaan firman. Namun pemberita firman tak bisa disalahkan juga atas pilihan mereka untuk tak berkomentar.

Kita mungkin tahu bahwa ada kutipan terkenal dari Salomo, bahwa segala sesuatu di kolong langit ini ada waktunya. Itu adalah perspektif yang begitu bijak.

Ada masanya Kristen adalah agama revolusioner, mendobrak status quo, seperti di film Jesus Revolution.

Tapi, ada masanya juga, Kristen menjadi agama yang nggak terlalu banyak campur tangan ke persoalan global. Partai Damai Sejahtera, misalnya, entah kenapa sudah tidak terlihat lagi balihonya. Padahal sebagai sebuah variasi partai politik, mereka akan jadi warna tersendiri.

Sebagai penutup, ada sebuah twit menarik di X. Twit ini menjelaskan bahwa kalau Yesus dilahirkan hari ini, maka ia akan lahir di antara puing-puing reruntuhan di Gaza. Artinya, tak perlu menunggu Herodes datang, kandang domba itu sudah pasti akan luluh lantak dihajar bom fosfor.

Saya cek. Benar. Yesus lahir di Betlehem, dan Betlehem hari ini berlokasi di State of Palestine.

--

--

Konotatif
Konotatif

Written by Konotatif

Merangkai kata di sela-sela kesibukan. Biasanya menulis seminggu sekali. Sarjana psikologi yang masih percaya bahwa tidak ada sesuatu yang absolut.

No responses yet