31 Desember 2022
Malam ini saya kesasar. Atau lebih tepatnya, membiarkan diri naik motor sambil tersesat di Jakarta. Tujuan saya hendak ke daerah Tanah Abang, dari Salemba. Secara pengetahuan jalan sebetulnya minim. Namun entah kenapa saya tidak mau pakai peta.
Alhasil, saya tersesat di daerah Menteng.
Sepanjang jalan di wilayah tersebut, ada satu hal terngiang-ngiang. Ayah saya, dari dulu sering berkelakar bahwa rumah-rumah yang kita lihat di Menteng adalah milik orang kaya dan harganya mahal-mahal.
Lelucon tersebut terpatri, mungkin menjadi konsep di kepala saya, bahwa daerah Menteng adalah daerah milik orang berada dan saya bukanlah orang berada tersebut.
Ada semacam kesadaran kelas di sana. Mentalitas itu pula agaknya yang kadang menimbulkan jarak dengan mereka yang saya anggap 'orang kaya’.
Mungkin juga — amit-amit — ini adalah apa yang disebut culture of poverty; bahwa orang terjerembap dalam kemiskinan sebenarnya belum tentu hanya karena alasan sistemik, melainkan ada sub-kultur yang menyebabkan mereka miskin. Salah satunya adalah perasaan ter-alienasi di negeri sendiri.
Sementara tersesat, jalan-jalan begitu penuh. Tak begitu hapal Jakarta, sedangkan polisi di mana-mana. Namun, masih juga enggan menggunakan peta.
Bahkan abang ojek daring yang saya tanya langsung hanya mendecak cemas, katanya, “duh, susah, jalanan pada ditutup".
Abang ojek berikutnya bilang, “waduh, saya kurang tahu daerah sini".
Akhirnya saya bertanya pada seorang pedagang kaki lima yang baru saja mau menyantap nasi gorengnya. Dia menunjukkan serangkaian direksi, lalu saya mengucapkan terima kasih. Rute arahannya tersebut berjalan dengan baik, tapi tidak sampai selesai. Saya menemukan rute yang lebih familiar dibanding rutenya tersebut.
Pendeta di gereja bilang bahwa tidak ada yang spesial di hari Sabtu ini. Sebab ia toh seperti hari-hari lain. Apa yang membedakan adalah hari ini adalah hari terakhir di tahun 2022.
Seperti hari ini dan cara saya mengeksplorasi jalanan (strolling around sambil bertanya pada orang) bukanlah hal baru. Hal tersebut sering terjadi. Yang membedakan adalah 31 Desember itu akhir tahun, alhasil saya menjadi lebih reseptif untuk coba melahirkan pesan moral apa yang bisa dipetik. Pesan itu cuma sesederhana: orang lain boleh menyarankan, memberikan, atau mungkin memaksakan sesuatu untuk kita jalani dalam hidup, namun di tengah jalan bisa jadi kita menemukan langkah lain yang lebih sesuai. Dan itu sah-sah saja.
Hal terakhir, adalah menyadari keberadaan orang-orang yang kita kasihi (mungkin juga yang kita kasihi sekaligus kita benci).
Menyadari bahwa mereka ada di tahun baru 2021, tahun baru 2022, tapi belum tentu di 31 Desember 2023 mereka masih ada. Mungkin mereka akan mati. Mungkin juga mereka masih hidup, tapi memutuskan untuk berpisah dengan kita—inipun barangkali sama sakitnya dengan kematian. Kita tak pernah tahu, dan tak perlu juga berusaha menerka.
Mereka seperti kembang api yang terlihat dari gang-gang kecil menyesatkan: sementara, tapi membahagiakan.